Tingkatkan Kualitas Pendidikan Anak Usia Dini, Prudential Indonesia Gandeng UNICEF Buat Program PAUD di NTT

Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) diperingati setiap 2 Mei. Sejarah perkembangan dunia pendidikan di Indonesia tak lepas dari kiprah tokoh-tokoh tertentu.

Setidaknya, ada tujuh tokoh pendidikan yang berperan aktif dalam memperjuangkan pendidikan, terutama pendidikan bagi pribumi. Mereka memiliki gagasan, menciptakan sekolah-sekolah, hingga menulis beberapa buku.

Mengutip dari laman Museum Pendidikan Nasional, berikut tokoh-tokoh pendidikan nasional di Indonesia:

  1. Ki Hadjar Dewantara

RM Suwardi Suryaningrat atau Ki Hadjar Dewatara lahir di Yogyakarta pada 2 Mei 1889. Sosoknya dijuluki sebagai Bapak Pendidikan Indonesia. Bahkan, peringatan Hardiknas resmi ditetapkan bertepatan dengan tanggal lahirnya.

Ki Hadjar Dewantara adalah pendiri Perguruan Nasional Taman Siswa (1922). Melalui perguruan tersebut, ia memiliki cita-cita revolusioner dalam pendidikan Indonesia dengan mengabaikan segala tekanan Kolonial Belanda.

Cita-cita tersebut dituangkan dalam dasar perguruan Taman Siswa yang menerapkan Panca Darma, yakni kemerdekaan, kebangsaan, kemanusiaan, kebudayaan, dan kodrat alam.

Achmad Dahlan

  1. Achmad Dahlan

Achmad Dahlan Lahir di Yogyakarta pada 1 Agustus 1869. Ia merupakan pendiri perkumpulan Muhammadiyah di Yogyakarta.

Achmad Dahlan mengajarkan pendidikan Islam slot138 secara modern sesuai tuntunan Al-Qur’an dan Hadist. Dengan semboyan ‘Sedikit Bicara Banyak Bekerja’, beliau menetapkan Muhammadiyah sebagai organisasi bersifat sosial yang bergerak di bidang pendidikan.

Setelahnya, didirikan sekolah-sekolah pendidikan agama Islam dengan menambahkan mata pelajaran lain seperti di sekolah-sekolah pemerintah kolonial. Adapun beberapa sekolah yang dikembangkan Muhammadiyah adalah sekolah Taman Kanak-Kanak (Bustanul Atfal), Sekolah Kelas II, HIS, serta MULO.

Muhammadiyah juga mengembangkan seklolah-sekolah agama, seperti Ibtidaiyah (Sekolah Dasar), Tsanawiyah (Sekolah Lanjutan), Mu’alliimin/Muallimat (SGB Islam), Kulliyatul Mubaligin (SPG Islam).

  1. RA Kartini

Pahlawan nasional yang satu ini dikenal sebagai sosok yang memperjuangkan emansipasi wanita, termasuk dalam sektor pendidikan. Adalah RA Kartini yang lahir pada 21 April 1879.

Selama hidupnya, Kartini memperjuangkan kebebasan kaum wanita dari belenggu adat-istiadat. Tujuannya agar mereka dapat meningkatkan kedudukan dan derajatnya.

Kartini kemudian membuka Sekolah Gadis di Jepara pada 1903. Setelahnya, ia juga membuka sekolah di Rembang.

Salah satu bukunya yang populer berjudul Habis Gelap Terbitlah Terang. Buku ini berisi surat-surat yang ia kirim kepada sahabatnya di Belanda yang kemudian diterjemahkan oleh Armijn Pane.

RA Lasminingrat

  1. RA Lasminingrat

RA Lasminingrat lahir di Garut pada 1843. Ia mulai menulis buku berbahasa Sunda pada 1871.

Buku-buku tersebut merupakan hasil karyanya sekaligus hasil terjemahan. Beberapa bukunya adalah Carita Erman serta Warnasan atau Roepa-roepa yang ditujukan untuk anak-anak sekolah.

Setelah menikah dengan Bupati RAW Wiratanudatar VIII, ia mendirikan Sekolah Kautamaan Istri yang mengajari cara memasak, merapikan pakaian, mencuci, menjahit pakaian dan kegiatan lain yang berhubungan dengan pekerjaan rumah tangga. Pada 1943, cabang-cabang Sekolah Kautamaan Istri didirikan di Kota Wetan Garut, Bayongbong, dan Cikajang.

  1. Rohana Kuddus

Rohana Kudus lahir di Padang pada 20 Desember 1884. Ia juga merupakan salah satu sosok yang giat dalam mempelopori emansipasi wanita.

Pada 1905, ia mendirikan Sekolah Gadis atau Sekolah Kepandaian Putri yang fokus pada pembelajaran keterampilan bagi anak perempuan. Pada 1911, Rohana memimpin perkumpulan wanita Minangkabau bernama Kerajinan Amai Setia.

  1. Raden Dewi Sartika

Raden Dewi Sartika lahir di Bandung pada 4 Desember 1884. Putri Raden Somanagara dan Nyi Raden Ayu Rajapermas ini sudah menunjukkan bakatnya sebagai pendidik sejak kecil.

Pada 1902, Dewi Sartika sudah merintis pendidikan toto19 bagi kaum perempuan. Ia mengajar di sebuah ruangan kecil di belakang rumah ibunya.

Saat itu, ia mengajari cara merenda, memasak, menjahit, membaca, menulis, dan lainnya. Pada 16 Januari 1904, Dewi Sartika membuka Sakola Istri (Sekolah Perempuan) dengan jumlah 20 murid. Setelahnya, mulai bermunculan beberapa Sakola Istri.

Pada September 1929, nama sekolah tersebut berganti nama menjadi Sakola Raden Dewi. Saat ini, sekolah-sekolah tersebut dikenal dengan SD, SMP, dan SMA Dewi Sartika.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *